Saturday, 3 February 2018

BELAJAR MENULIS SEPERTI IMAM BUKHORI SERTA SEJARAH SINGKAT IMAM BUKHORI

sejarah imam bukhari - hadits imam bukhari - biografi imam bukhari - imam syafi'i - sosok imam bukhari

Dalam suatu kontemplasi ringan, pengarang pernah berpikir: kenapa karya tulis ulama zaman dahulu dapat sedemikian tahan lama eksistensi dan manfaatnya sampai di era digital laksana ini?

Meminjam istilah dunia perbukuan zaman sekarang, karya semua ulama boleh dibilang bestseller berabad-abad dan lintas generasi.

Padahal, mereka rata-rata mencatat secara manual (tidak secanggih kini yang tidak sedikit mesin percetakan). Menariknya, dengan perangkat ala kadarnya, tidak merintangi mereka guna produktif dalam menerbitkan karya tulis.

Sebagai contoh, siapa yang tidak kenal ulama besar sekelas Ibnu Jarir At-Thabari? Dalam daftar sejarah, karangannya berjumlah 358 ribu lembar. Bila dikalkulasikan, dalam sehari beliau dapat menulis sejumlah 40 eksemplar (Abdu al-Fattah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, 43).

Belum lagi, ulama sekaliber Imam Ibnu Jauzi yang meninggalkan karya sejumlah lima ratus buku; dan masih tidak sedikit lagi misal yang lainnya.

Setelah menyimak biografi Imam Bukhari dan sejumlah ulama lain, lama-lama rasa penasaran pengarang mulai terpecahkan. Kebanyakan umat Islam pasti tidak asing dengan tokoh seperti Imam Bukhari yang dikenal melewati Kitab Shahih-nya. Sebuah buku hadits monumental yang disepakati oleh semua ulama sebagai buku hadits sangat sahih sedunia.

Banyak yang mengenal magnum opusnya ini, namun, tahukah mereka bagaimana proses penulisan ulama hadits yang levelnya dinamakan Amîr al-Mu`minîn fî al-Hadîts ini?

Imam Adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhir wa al-A’lâm (1413: I/74) menulis dengan baik proses penulisan hadits Imam Bukhari. Kitab yang berjudul menyeluruh al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wasallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi ini ditulis bermula dari mimpi bertemu nabi.

Pada masa-masa itu, Bukhari seakan sedang membawa kipas untuk mengayomi nabi dari segenap gangguan supaya nabi dapat tidur nyenyak.


Makam Imam al Bukhari di Samarkand, Uzbekistan, tidak jarang kali dikunjungi umat Islam sedunia

Ketika ditanyakan untuk ulama tentang takwil mimpinya, maknanya: Bukhari menjadi pembela Rasulullah. Karenanya, dirinya butuh menorehkan karya tulis untuk mengawal hadits-hadits nabi dari riwayat-riwayat dusta.

Dari sini, yang dapat dipelajari dari Bukhari ialah motif luhur sebelum mencatat dan tau benar kualitas konten yang bakal ditulis. Beliau mencatat bukan sekadar menulis, namun mempunyai niat agung berupa membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah daftar berharga untuk siapa saja yang hendak menjadi penulis.

Selanjutnya, masih menurut keterangan dari Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm al-Nubalâ (1405: XII/402), diceritakan bahwa Imam Bukhari menulis buku Shahih-nya, diseleksi secara ketat dari hadits sahih yang berjumlah selama enam ratus ribu. Sungguh fantastis.

Dari jumlah 600 ribu tersebut dikerucutkan menjadi selama 7563 hadits. Bisa dibayangkan alangkah beliau mempunyai memori yang powerful dan kaya data. Kalau dibahasakan dalam istilah kini barangkali: mencatat dengan proses edit yang ketat dan diperkaya dengan data.

Generasi Salaf dan Tradisi Menulis Kitab

Lebih dari itu, terdapat yang lumayan mencengangkan dari Imam Bukhari sebelum mengawali menulis kitab. Suatu ketika Al-Firabry pernah diberitahu Imam Bukhari mengenai proses menulis buku monumentalnya, bahwa masing-masing kali akan mencatat satu hadits, beliau mandi dan mengerjakan shalat sunnah (istikharah) dua rakaat (Imam Adz-Dzahabi, 1405: XII/402).

Anda dapat membayangkan berapa tidak sedikit dan berapa lama beliau merampungkan buku ini bila hadits yang di dalamnya selama 7563.

Dari sini semua pembaca dapat belajar bahwa yang namanya menulis tersebut bukan sekadar tulisan, namun dilatari oleh spirit ibadah dam terdapat ruhnya. Dalam menulis, Imam Bukhari tidak jarang kali melibatkan Allah Subhanahu Wata’ala, tidak hanya mengandalkan kepintaran semata.

Dalam sejarah, tidak saja Bukhari yang melaksanakan ini. Misalkan: Imam An-Nawawi, sebelum mencatat karya monumental Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau mengerjakan shalat istikharah terlebih dahulu.

Demikian pun Ibnu Hazm Al-Andalusiy, shalat istikharah terlebih dahulu sebelum mencatat kitabnya yang berjudul al-Muhalla bi al-Âtsâr. Bahkan Imam Adz-Dzahabi, tak tak sempat shalat istikharah terlebih dahulu sebelum mencatat syarah dari buku Ihyâ ‘Ulum al-Dîn karya Bukhari (Muhammad Abu Ayyas, 2008: 73-77)

Kemudian, yang menjadi pertanyaan: apa Imam Bukhari menggarap karya besar ini tanpa jasa guru? Imam Ibnu Al-Jauzi dalam buku al-Muntadham fî Târikh al-Mulûk wa al-Umam (1412: XII/115) menyatakan bahwa ulama berpengalaman hadits asal Bukhara ini mencatat hadits berasal dari seribu syekh atau guru.

Bayangkan untuk mencatat hadits gurunya berjumlah seribu. Pelajaran yang dapat dipetik di sini, menulis tersebut butuh tuntunan guru.

Selanjutnya, yang tidak kalah menarik, Kitab Shahih ini ditulis dalam jangka masa-masa enam belas tahun. Imam Bukhari juga menjadikan buku ini sebagai hujjah (bukti) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wata’ala (Abu Muhammad Al-Yâfi’i, Mirâh al-Jinân wa ‘Ibrah al-Yaqdhân, II/125). Artinya, guna mendapatkan karya tulis terbaik, bukan yang urgen asal jadi, namun benar-benar melewati keseriusan, kesabaran, dan kualitas. Dalam kehidupan keseharian saja, bila kita inginkan panen jagung, mungkin perlu waktu dua sampai tiga bulan. Tapi, bila mau panen pohon jati, dapat berpuluh tahun. Harganya juga jelas lebih mahal jati.

Menulis Bagian Dari Pilar Peradaban Islam

Akhirnya, dari Imam Bukhari semua pembaca dapat belajar bahwa bila hendak menorehkan karya tulis agung, sangat tidak terdapat lima poin yang butuh diperhatikan:
Pertama, mempunyai niat dan motif luhur dalam mencatat serta memahami dengan baik kualitas konten yang bakal ditulis.

Kedua, selektif dan kaya data. Ketiga, menanamkan kesadaran internal bahwa menulis ialah ibadah, karena tersebut akan dipertanggung jawabkan, dan dipantau Allah Subhanahu Wata’ala. Bukan sebatas karya guna gagah-gagahan.

Keempat, tuntunan seorang guru (khususnya yang ibadah dan akhlaqnya mulia).
Kelima, karya berbobot | berbobot | berkualitas bukan asal jadi, tapi perlu kesabaran, ketelatenan dan masa-masa yang tidak sebentar.
Bagaimana dengan kita? Apakah anda menjadi pengarang atau wartawan dengan tuntunan wahyu dan niat sebab Allah ta’ala atau melulu sekedar gagah-gagahan supaya dipuji publik?

Mungkin berikut bedanya karya anda dengan karya semua ulama. Rata-rata karya masyarakat umum melulu bertahan dan diingat satu-dua tahun. Sementara karya semua ulama tersebut tak lekang oleh waktu, bahkan dikaji jutaan orang sekitar berabad-abad. Sementara dari kitabnya, dapat melahirkan ulama-ulama dan cendekiawan yang berakhlaq. Wallahua’lam. /Mahmud Budi Setiawan

Topik: Ahli Hadits, data, hadits, Imam Bukhari, istikharah, karya ulama, Kitab Shahih, magnum opus, menulis, penulis, Shalat sunnah, ulama.

0 comments:

Post a Comment

blog ini bersifat dofollow,bebas nitip link dan berkomentarlah yang sopan.