Najasah atau najis secara bahasa dengan kata lain kotoran. Najasah atau najis dalam istilah syariat ialah segala sesuatu yang dirasakan kotor oleh syariat. Dalam Ar Raudhatun Nadiyyah disebutkan,
النجاسات جمع نجاسة, و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا أصابهم كالعذرة و البول
“Najasat ialah bentuk jamak dari najasah, ia ialah segala sesuatu yang dirasakan kotor oleh orang-orang yang mempunyai fitrah yang bersih dan mereka akan berjuang menjauhinya dan mencuci pakaiannya andai terkena olehnya seperti kotoran insan dan air seni”1.
Dalam Al Fiqhul Muyassar disebutkan,
النجاسة: هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها
“Najasah ialah setiap urusan yang dirasakan kotor yang diperintahkan oleh syariat guna menjauhinya”2.
Dari penyataan “dianggap kotor oleh syariat” dalam definisi-definisi yang dilafalkan para ulama mengindikasikan bahwa tidak seluruh yang kotor menurut insan itu ialah najis dalam istilah syar’i, dan pun menunjukkan bahwa menilai najis atau tidaknya sesuatu tersebut harus dilandasi dalil. Jika tidak ada alasan yang mengindikasikan najisnya sesuatu tersebut, maka ia suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:
يجب أن يعلم أن الأصل في جميع الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع
“wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu tersebut suci, maka tidak boleh menuliskan ia sesuatu tersebut najis atau menajiskan kecuali ada alasan dari syariat”3.
Maka najis tidak dapat ditentukan dengan akal atau perasaan seseorang bahwa sesuatu tersebut najis, tetapi harus menurut dalil. Dan yang dituntut dari anda terhadap najis ialah kita diperintahkan guna menjauhinya dan mencuci diri darinya andai terkena najis.
Kemudian, najis bertolak belakang dengan pembatal wudhu. Dan andai seseorang terpapar najis, wudhunya tidak menjadi batal, tetapi ia wajib mencuci najis tersebut
Perintah mencuci najis
Syariat menyuruh kita untuk mencuci diri dari najis dalam tidak sedikit dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al Mudatsir: 4).
Allah Ta’ala pun berfirman:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan kami perintahkan untuk Ibrahim dan Ismail guna mensucikan rumah-Ku untuk orang-orang yang ber-thawaf, ber-i’tikaf dan orang-orang yang rukuk dan sujud” (QS. Al Baqarah: 125).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melalui dua kuburan. Lalu beliau bersabda: “kedua orang ini sedang diadzab, dan mereka diazab bukan sebab dosa besar. Orang yang kesatu diadzab karena melakukan namimah (adu domba). Adapun yang kedua, ia diadzab sebab tidak mencuci diri dari saldo kencingnya”” (HR. Muslim no. 292).
Dan dalil-dalil yang lainnya.
Cara mencuci najis
Para ulama membagi najis dipecah menjadi tiga:
Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah
Najasah mukhaffafah (ringan)
Najasah mutawashitah (pertengahan)
1. Cara mencuci najasah tsaqilah
Misalnya najis dari anjing dan babi, maka membersihkannya dengan tujuh kali cucian, dan cucian yang kesatu memakai tanah atau semacamnya. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis dari anjing dan seluruh yang berasal dari babi teknik mencucinya mesti dengan tujuh kali cucian, dan cucian yang kesatu memakai tanah atau semacamnya” 4.
Dalilnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“cara mensucikan bejana dari seseorang salah satu kalian andai dijilat anjing ialah dengan mencucinya tujuh kali, cucian yang kesatu memakai tanah” (HR. Al Bukhari no. 182, Muslim no. 279).
Dan babi pun demikian, menurut qiyas min baabil aula. Karena babi lebih buruk dari pada anjing5.
2. Cara mencuci najasah mukhaffafah
Najasah yang mukhaffah terdapat 3 macam di lihat dari teknik membersihkannya:
a. Dengan teknik memercikkan air sekali percikan
Syaikh As Sa’di menyatakan: “air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan sebab syahwat (untuk makan) maka ini semua lumayan dipercikkan air sekali saja, ini adalahsalah satu pendapat dari madzhab (Hambali), sebagaimana ada dalam hadits-hadits shahih. Demikian pun muntahnya anak-anak, tersebut statusnya lebih enteng daripada air kencingnya. Demikian pun madzi, menurut keterangan dari pendapat yang shahih, ia juga lumayan dipercikkan air saja, sebagaimana ada dalam hadits, dan ini seluruh selaras dengan hikmah keringanan dalam masyaqqah”6.
Berikut perincian dalilnya:
Air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan
Hadits dari Abu Samh Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Air kencing anak perempuan tersebut dicuci, sementara air kencing anak laki-laki tersebut dipercikkan” (HR. Abu Daud 377, An Nasa’i 303, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).
Muntahnya anak laki-laki yang belum memakan makanan, diqiyaskan dengan air kencing.
Madzi
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata:
أرسَلْنا المِقْدَّادَ بنَ الأسودٍ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،فسألَه عن المَذْيِ يَخْرُجُ مِنَ الإنسانِ كيفَ يَفْعَلُ به ؟ فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : تَوَضَّأْ ،وانْضَّحْ فَرْجَكَ
“Miqdad bin Al Aswad mengutusku untuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu aku bertanya tentang madzi yang terbit dari seseorang, bagaimana menyikapinya? Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘berwudhulah dan percikkan kemaluanmu dengan air‘” (HR. Muslim 303).
b. Dengan menyiramnya sekali siram atau secukupnya sampai hilang inti objeknya
Ini berlaku pada seluruh najis yang terdapat di atas permukaan lantai atau tanah. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis andai berada di atas permukaan tanah atau lantai maka lumayan disiram dengan sekali siraman yang menciptakan ‘ainun najasah (inti dari objek najis) hilang, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk mengguyur air kencing orang badwi dengan seember air”7.
Dalilnya hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، «فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ»
“Seorang arab badwi kencing di satu unsur masjid, maka orang-orang pun berkeinginan memarahinya. Namun Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mereka. Ketika ia berlalu kencing, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh untuk mengguyur air kencingnya dengan seember air” (HR. Bukhari no. 221, Muslim no. 284).
Dari hadits ini jelas bahwa najis yang terdapat di permukaan lantai atau tanah maka lumayan hingga hilang ‘ainun najasah (inti dari objek najis), tidak mesti hilang 100%. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melulu memerintahkan untuk mengguyur air kencing orang badwi itu dengan air seember yang pasti belum menghilangkan seluruh najisnya 100%.
Baca Juga: Pengertian Najis
c. Dengan menyentuhkan pada debu atau tanah
Yaitu najis yang terdapat pada unsur bawah sepatu dan alas kaki lainnya, pun pada unsur bawah pakaian perempuan yang terpapar tanah. Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najis yang terdapat pada unsur bawah sepatu dan alas kaki lainnya, lumayan disentuhkan pada permukaan tanah atau pada debu, sebagaimana ada dalam hadits shahih. Dan ini yang cocok dengan hikmah syar’iyyah”.
Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ، قَالَ: «مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ»، قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا – أَوْ قَالَ: أَذًى – ” وَقَالَ: ” إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا “
“Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bareng para sahabatnya, beliau mencungkil kedua sandalnya dan meletakannya di sebelah kirinya. Ketika semua sahabat (yang bermakmum) menyaksikan hal itu, mereka pun membuang sandal-sandal mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berlalu shalat beliau bertanya: ‘Mengapa kalian membuang sandal-sandal kalian?’. Para kawan menjawab: ‘Kami melihat kamu melemparkan sandal anda, maka kami pun membuang sandal kami’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku menyaksikan Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dan mengabarkanku bahwa pada kedua sandalku terdapat najis (dalam riwayat lain: kotoran)’. Lalu beliau bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid maka simaklah kedua sandalnya, andai ia menyaksikan ada najis atau kotoran maka sentuhkanlah (ke tanah) kemudian shalatlah dengan keduanya‘” (HR. Abu Daud no. 650, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Juga hadits dari Ummu Salamah radhiallahu’anha. Dari jalan Ummu Walad (disebut juga: Hamidah), ia berkata:
قُلْتُ لأُمِّ سَلَمَةَ: إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ القَذِرِ؟ فَقَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Aku bertanya untuk Ummu Salamah: ‘saya ini perempuan yang panjang gaunnya dan saya biasa berlangsung di lokasi yang kotor’. Ummu Salamah berkata: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tanah yang setelahnya telah membersihkannya””(HR. Tirmidzi 143, ia berkata: “hadits ini shahih”).
3. Cara mencuci najasah mutawashitah
Yaitu yang bukan tergolong kedua jenis di atas, contohnya air kencing secara umum, kotoran insan (feces), bangkai, darah haid, dll. Maka teknik membersihkannya dapat dengan sekian banyak cara yang dapat menghilangkan seluruh najisnya sampai tidak tersisa warna, bau dan rasanya. Bisa dengan menyiramnya, atau membasuhnya, atau mencucinya, atau menyikatnya, atau memakai sabun, atau memakai alat-alat kebersihan.
Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najasah (mutawashitah) saat ia dapat hilang dengan teknik apapun, dengan perangkat apapun, maka tersebut sudah lumayan untuk mensucikannya. Tanpa disyaratkan adanya jumlah bilangan dan tidak mesti memakai air. Ini yang diperlihatkan oleh zhahir nash dalil-dalil. Karena syariat dalam urusan ini melulu memerintahkan guna menghilangkan najis. Dan najis tersebut terkadang hilang dengan memakai air, kadang dengan membasuhnya, kadang dengan istijmar (menggunakan batu, kayu atau sepertinya), dan terkadang dengan teknik yang lain.
Dan syariat tidak menyuruh untuk menghilangkan najis sejumlah tujuh kali, kecuali najis anjing. Sebagaimana pun pendapat ini pun merupakan kebiasaan dari nash dalil-dalil syar’i, sebab pendapat ini memiliki kecocokan yang tinggi dengan nash. Karena penghilangan najis itu ialah penghilangan sesuatu yang mahsuusah (bisa diindera)”8.
Demikian semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.
0 comments:
Post a Comment
blog ini bersifat dofollow,bebas nitip link dan berkomentarlah yang sopan.