Thursday, 8 February 2018

HUKUM MENGGUNAKAN BARANG GADAI SERTA TATA CARA HUKUM BARANG GADAUI

hukum gadai sawah dalam islam - hukum gadai di pegadaian - hukum gadai motor - hukum gadai emas dalam islam - hukum gadai dalam pegadaian - hukum gadai bpkb - hukum menggunakan barang gadai - riba dalam gadai



AR-RAHN

Ar-Rahn boleh dilaksanakan baik saat safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam suasana safar), bukanlah pembatas, namun sekadar keterangan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas mengindikasikan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam mengerjakan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam situasi safar, namun sedang mukim. [QS al-Baqarah ayat 283 menyatakan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai saat safar dan tidak terdapat pengarang untuk menyebutkan transaksi tersebut maka ar-rahn dalam kondisi tersebut hukumnya sunnah. Dalam situasi mukim hukumnya mubah.

Imam Al Qurthubi menuliskan : “Tidak terdapat seorangpun yang tidak mengizinkan Ar- Rahn pada suasana tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan Dawud (Ad Dzohiri) [AbhatsHai'at Kibar Ulama 6/107]. Demikian pun Ibnu Hazm.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau menuliskan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam suasana tidak safar (menetap) sebagaimana diizinkan dalam suasana safar (bepergian).

Sedangkan Ibnul Mundzir menuliskan : Kami tidak memahami seorangpun yang menyelisihi urusan ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak terdapat kecuali dalam suasana safar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Jika anda dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang anda tidak mendapat  seorang penulis, maka hendaklah terdapat barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

B. Rukun (ketentuan pokok) Ar-rahn

Shighat (ijab dan qabul) ;Al-‘aqidan (dua orang yang mengerjakan akad ar-rahn), yakni pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin). Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yakni barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Di samping ketiga peraturan dasar tersebut, ada peraturan tambahan yang dinamakan syarat, yakni harus terdapat qabdh (serah terima).

Jika semua peraturan tadi terpenuhi, cocok dengan peraturan syariah, dan dilaksanakan oleh orang yang pantas melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn itu sah. Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit itu tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang mesti dijadikan agunan ialah barang lain, di samping barang yang dibeli (al-mabî’) tadi.
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb ketika ini-yang andai pembeli (debitor) tidak dapat melunasinya, kemudian motor, mobil, lokasi tinggal atau barang itu dipungut begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian ialah batil, karenanya jangan dilakukan.

Waktu Ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah kewajiban Ar-Rahn. Apakah langsung seketika ketika transaksi, ataukah sesudah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini ada dua pendapat.

a. Serah terima ialah menjadi kriteria kewajiban terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
b. Ar-Rahn langsung terjadi setelah berlalu transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menampik menyerahkan barang gadainya maka ia juga dipaksa guna menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.

sesungguhnya Ar-Rahn menjadi kewajiban dengan adanya akad transaksi, karena urusan tersebut dapat menerapkan faidah Ar-Rahn, yakni berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, saat (hutangnya) tidak dapat dilunasi.

Waktu Serah Terima Ar-Rahn Dianggap Sah

Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dialihkan seperti lokasi tinggal dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya guna murtahin tanpa terdapat penghalangnya. Ada kalanya berupa barang yang bisa dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran.

Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya bisa dihitung. Serta dilaksanakan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur. Namun bila barang gadai itu berupa tumpukan bahan makanan yang dipasarkan secara tumpukan, dalam urusan ini bentrokan pendapat tantang teknik serah terimanya. Ada yang berasumsi dengan teknik memindahkannya dari lokasi semula, dan terdapat yang menyatakan lumayan dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sementara murtahin bisa mengambilnya.

Hukum-Hukum Setelah Serah Terima.

Ada sejumlah ketentuan dalam gadai sesudah terjadinya serah terima yang bersangkutan dengan pembiayaan (pemeliharaan), perkembangan barang gadai dan pemanfaatan serta garansi pertanggung jawaban bila bobrok atau hilang.
a. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai itu berada ditangan Murtahin sekitar masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
“Jika anda dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang anda tidak mendapat  seorang penulis, maka hendaklah terdapat barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [Al-Baqarah : 283]

Dan sabda beliau “Hewan yang dikendarai dinaiki bilamana digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum bilamana hewannya digadaikan. Wajib untuk yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi].
b. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, ongkos pemeliharaan dan guna barang yang digadaikan ialah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia jangan mengambil guna barang gadaian tersebut, kecuali bila barang itu berupa kendaraan atau fauna yang dipungut air susunya, maka boleh memakai dan memungut air susunya bilamana ia menyerahkan nafkah (dalam makna pemeliharaan barang tersebut).

Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya cocok dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan menyimak keadilan. Hal ini didasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hewan yang dikendarai dinaiki bilamana digadaikan dan susu (dari hewan) diminum bilamana hewannya digadaikan. Wajib untuk yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi].

c. Pertumbuhan Barang Gadai

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai sesudah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan andai terpisah, maka dalam urusan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau perkembangan barang gadai yang terjadi sesudah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut untuk barang gadai tersebut.

Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau perkembangan bukan ikut barang gadai, namun menjadi kepunyaan orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm bertolak belakang dengan Syafi’i mencantol barang gadai yang berupa kendaraan dan fauna menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan fauna yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) kepunyaan yang menafkahinya.

d. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak beralih kepemilikannya untuk Murtahin bilamana telah berlalu masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak dapat melunasinya,Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai.

Penyelesaian dan pelunasan hutang dilaksanakan secara adil. Tidak laksana yang dilaksanakan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilaksanakan pemilik piutang, dengan teknik menyita barang gadai, meski nilainya lebih banyak dari hutangnya, bahkan barangkali berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, paling jelas adalah perbuatan Jahiliyah dan tindakan zhalim yang mesti dihilangkan. Semoga anda terhindar dari tindakan ini.

Unsur dan Rukun Rahn

Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memilikibeberapa unsur:
a. Pertama: Ar-Rahin
Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam duit dengan garansi barang
b. Kedua: Al-Murtahin
Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
c. Ketiga: Al-Marhun/ Ar-Rahn
Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan
d. Keempat: Al-Marhun bihi
Yaitu duit dipinjamkan lantaran terdapat barang yang digadaikan

Rukun Gadai

Sedangkan dalam praktek gadai, ada sejumlah rukun yang menjadi kerangka penegaknya. Dintaranya merupakan
a. Al-’Aqdu yakni akad atau kesepaktan untuk mengerjakan transaksi rahn Sedangkan yang tergolong rukun rahn ialah hal-hal berikut:
b. Adanya Lafaz yaitu; pengakuan adanya perjanjian gadai. Lafaz bisa saja dilaksanakan secara tertulis maupun lisan, yang urgen didalamnya terdapat maksud adanya perjanjian gadai salah satu para pihak.
c. Adanya pemberi dan penerima gadai
Pemberi dan penerima gadai mestilah orang yang berakal dan balig sampai-sampai dapat dirasakan cakap untuk mengerjakan suatu tindakan hukum cocok dengan peraturan syari’at Islam.
d. Adanya barang yang digadaikan
Barang yang digadaikan mesti terdapat pada saat dilaksanakan perjanjian gadai dan barang itu ialah milik si-pemberi gadai, barang gadaian tersebut kemudian sedang dibawah pengasaan penerima gadai.
e. Adanya Hutang
Hutang yang terjadi mestilah mempunyai sifat tetap, tidak berubah dengan ekstra bunga atau berisi bagian riba.

0 comments:

Post a Comment

blog ini bersifat dofollow,bebas nitip link dan berkomentarlah yang sopan.